Semua
berawal dari bunga bugenvil yang tumbuh liar namun indah, di halaman belakang rumahku
yang gersang, tempat paling ku suka untuk bermain bersama adik kecilku. Tak
selalu yang terabaikan akan mati. Justru ialah yang kuat terhempas badai dan
bertahan, walau getah bercucuran, daun berguguran. Dan tak mungkin pula ia
sanggup berbunga kembali tanpa kupu-kupu. Suatu mutualisme simbiosis yang
melahirkan keajaiban anugerah. Aku bisa karena aku dan mauku, dan kamu bisa
karena kamu dan maumu, bukan karena mereka. Karena sesungguhnya motivasi ialah
ada dalam dirimu sendiri. Mereka hanya sekian dari sekian-sekian faktor yang
bisa menggugah satu dari sekian yang ada di dalam dirimu.
Masih
ku ingat saat sang bugenvil menyaksikan manakala tanganku bergetar membuka
hasil pengumuman beasiswa kuliah jalur undangan. Ahh, gagal. Dengan lesu aku
menyemangati diriku sendiri, kegagalan bukan akhir segalanya, masih banyak
kesempatan. Semoga ini menjadi kegagalan yang akan membuka keberhasilan yang
indah suatu saat nanti.
Kesempatan keduaku, jalur tulis. Aku gagal, lagi. Sedih,
kecewa. Ibuku yang sempat putus asa memberiku pengertian,
“tak apa kalau tahun ini tak kuliah, bekerja
saja dulu nanti kuliahnya bisa nyusul”. Namun karena lamaran kerja yang telah ku kirimkan
tak jua berbalas, aku akan terus berusaha untuk bisa kuliah. Betapa
sulitnya menggapai awan. Tapi aku tak boleh menyerah. Masih ada satu kesempatan pamungkas. Tabahkan hati dan
terus berdoa. Hari-hari kulalui dengan belajar, belajar, dan belajar.
Sampai-sampai aku lupa untuk mengisi perut saat adik kecilku mengantarkan
sepiring nasi goreng ke kamarku. Manis sekali. Aku terharu.
Ternyata
usaha, kesabaran dan doaku selama ini
tak sia-sia. Sehari setelah menerima berita panggilan kerja di laboratorium
sebuah perusahaan ternama di kota, aku mengetahui jika pada kesempatan terakhir
ini, melalui jalur mandiri salah satu universitas negeri terdekat aku diterima
di universitas negeri tersebut dengan beasiswa full yang ku ajukan plus biaya
hidup. Alhamdulillah,, bukan main senangnya hatiku, seperti mengambang di
angkasa yang penuh bintang. Rasa
bimbang sempat singgah di pikiranku. Tapi aku tahu apa yang hati kecilku
inginkan. Aku tahu Tuhan selalu memberikan yang
terbaik untuk umat-Nya.
Sedih dan senang, aku harus
meninggalkan rumah dan tinggal di
asrama puteri. Pasti rasanya kesepian. Dan benar,
keadaannya jauh berbeda dengan di rumah. Tentu saja. Tapi aku bersyukur bertemu
teman-teman baru yang baik hati di sini, dan mereka sangat beraneka ragam
seperti spesies-spesies terung-terungan.
Baru
kali ini jauh dari keluarga, rasanya waktu seperti kehilangan daya untuk
memberiku kegiatan selain memikirkan rumah. Aku ingin pulang. Tiap hari terucap
kata itu. Tapi aku tak boleh menyerah, aku harus bertahan. Ini adalah
keinginanku.
Ternyata
banyak acara dilingkungan baruku yang membuatku mengurungkan niat untuk pulang.
Aku menunggu, bersabar. Ketika ada kesempatan untuk pulang, segera tak ku
sia-siakan. Aku sudah tak sabar ingin kembali berjumpa rumahku. Aku ingin tahu
apa saja yang sudah terjadi selama aku tak di sana, apakah ada yang berubah.
Aku pun rindu canda tawa bersama keluarga, terutama adik kecilku. Juga bugenvil
merah dan ungu yang tumbuh liar di halaman belakang rumah.
Tak
terkira senangnya aku hari itu. Aku pulang! Ku lihat wajah ibu sumringah bak
bunga bugenvil yang baru mekar berseri menyambutku. Ternyata semuanya masih seperti dulu. Tak ada
yang asing bagiku di sini. Aku tak sabar menanti adik kecilku pulang sekolah.
Aku tak sabar untuk menggodanya lagi. Namun ketika ku lihat dia pulang dan
memberi salam pada ibu, niatku itu seketika hilang. Embun pagi membendung di
ujung mataku. Dengan kepolosannya, dia begitu gembira melihatku pulang. Ingin
rasanya aku meluapkan bendungan itu. Tidak, tidak di depan adik kecilku. Seketika
seolah senja menerobos jendela hatiku melihatnya mengenakan seragam dan sepatu
lusuh itu. Dan yang paling membuatku lemas ialah ransel yang dikenakannya.
Ransel biru usang yang sudah butut di sana-sini. Dan itu ransel perempuan
dengan gambar hati dan kupu-kupu. Ransel itu bekas milikku dulu. Aku pun dulu
tak mau memakainya karena sudah butut.
Dan adikku memakainya! Ia rela menunggu hingga ayah dan ibu mempunyai uang
cukup untuk membelikannya yang baru.
Kupeluk adik kecilku. Aku bertekad akan membuat adikku
yang apa adanya menjadi ada apanya. Hehe,, ohh bugenvil… suatu saat kau akan
menyaksikan sebuah peristiwa dimana kami menggenggam kemenangan! Aku pasti
bisa!
Kini ku buktikan aku bisa! Aku bisa bertahan hingga
saat ini. Aku bisa. Aku harus terus bertahan.
Walaupun program studi yang ku pilih semula membuatku ragu akankah aku sanggup.
Dan ternyata apa yang aku pelajari saat ini yang dulu tak ku dapat di bangku SMA
sungguh membuatku terpesona
dan ingin tahu. Aku bisa menghadapinya dengan senyum terkulum di bibirku. Ini
adalah masa depanku. Ini pilihanku, dan ini takdirku. Terimakasih Tuhan untuk
segala yang terbaik untukku. Untukmu,
lakukan apa yang kau tekadkan dan Tuhan akan menuntunmu. Dan bugenvil akan
berkisah kepadamu di balik warna-warni kelopaknya yang berkilau embun tentang
perjalananmu dan masa depan kemilau yang akan kau pilih.
0 komentar:
Posting Komentar